Surabaya, September 2025 – Di era ketika hampir semua aspek kehidupan ditopang algoritma—mulai dari rekomendasi belanja online, persetujuan pinjaman digital, hingga teknologi pengenalan wajah—muncul satu pertanyaan penting: apakah algoritma yang kita gunakan benar-benar adil dan bertanggung jawab? Jawabannya: belum tentu.
Di balik setiap algoritma selalu ada penulis kode. Dan di balik setiap keputusan otomatis, ada niat, asumsi, sekaligus bias manusia. Inilah mengapa etika tak bisa dilepaskan dari dunia teknologi. Ia tidak hanya penting bagi perusahaan raksasa, tapi juga bagi mahasiswa—generasi yang akan membentuk wajah teknologi di masa depan.
Secara sederhana, algoritma etis adalah algoritma yang dibangun dengan mempertimbangkan dampak sosial, hukum, dan moral dari keputusan yang diambilnya. Ia tidak hanya dinilai benar dari sisi teknis, tetapi juga adil, transparan, dan tidak merugikan pihak tertentu.
Sayangnya, dalam praktiknya kita sering mendapati algoritma yang justru melanggengkan diskriminasi. Ada aplikasi rekrutmen yang bias gender, sistem kredit yang merugikan kelompok minoritas, atau algoritma media sosial yang sengaja menyebarkan hoaks demi engagement. Masalah itu muncul bukan karena teknologinya “jahat”, melainkan karena perancangnya gagal menanamkan nilai etika sejak awal.
Mahasiswa di bidang teknologi, informatika, maupun sistem informasi punya tanggung jawab yang lebih luas. Peran moral itu tidak menunggu saat wisuda, tapi dimulai sejak di ruang kelas. Kebiasaan yang dibentuk saat ini akan terbawa ketika kelak membangun sistem berskala besar.
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa dijadikan pegangan. Pertama, sadari bahwa setiap baris kode punya dampak sosial. Pertanyaan seperti “bagaimana jika sistem ini dipakai jutaan orang?” seharusnya selalu hadir dalam pikiran. Kedua, bias sering kali berawal dari data. Itu sebabnya dataset yang dipakai dalam machine learning harus beragam dan inklusif.
Ketiga, dokumentasi yang rapi bukan sekadar formalitas. Ia adalah wujud transparansi: siapa yang bertanggung jawab, bagaimana logikanya berjalan. Keempat, latih diri untuk menyusun “kode empatik”—membangun sistem yang ramah bagi semua, termasuk mereka yang tunanetra, pengguna awam, atau orang dengan latar belakang berbeda. Dan kelima, bicarakan isu etika ini di kelas maupun komunitas. Jangan sampai diskusi etika hanya berhenti di fakultas hukum atau filsafat; teknologi pun membutuhkannya.
Kisah Nyata: Ketika Algoritma Salah Langkah
Bukan rahasia lagi, sejumlah perusahaan besar pernah tersandung masalah karena algoritma yang mereka bangun. Amazon, misalnya, harus menghentikan sistem rekrutmen berbasis AI setelah terbukti lebih memprioritaskan pelamar laki-laki ketimbang perempuan. Di Amerika Serikat, sistem prediksi kriminal ditarik karena memberi skor risiko lebih tinggi kepada kelompok kulit hitam tanpa logika yang transparan. TikTok dan YouTube pun pernah jadi sorotan karena algoritma mereka justru menyebarkan konten negatif lebih luas demi meningkatkan interaksi pengguna.
Kasus-kasus ini menunjukkan satu hal: tanpa kesadaran etika sejak awal, teknologi bisa menciptakan masalah sosial baru.
Etika Adalah Bagian dari Keahlian Teknologi
Menguasai Python, machine learning, atau komputasi awan memang penting. Tapi di era digital yang kompleks, etika sama pentingnya dengan kemampuan teknis. Profesional teknologi bukan hanya dituntut untuk bisa membangun sistem, tetapi juga memastikan sistem itu tidak merugikan masyarakat.
Sebagai mahasiswa, ada peluang besar untuk menjadi bagian dari perubahan. Anda bisa membangun teknologi yang lebih adil, menjadi pelopor diskusi etika digital di kampus, sekaligus menanamkan prinsip moral sejak awal karier.
Seperti yang pernah diungkapkan CEO Apple, Tim Cook: “Etika dalam teknologi bukan pilihan tambahan. Itu adalah fondasi yang menentukan masa depan.”
Penulis: Fujiyama / Foto: Pexels