Generasi Z = Generasi Strawberry? Sensitif atau Kreatif?

Surabaya, Mei 2024 – Generasi Z, sebuah istilah yang kian sering mengemuka dalam wacana sosial saat ini. Mereka adalah kelompok individu yang lahir antara pertengahan 1997 hingga awal 2010-an. Generasi ini seringkali diidentifikasi dengan sifat-sifat yang unik, terutama dalam konteks teknologi dan budaya digital. Namun, ada sebutan baru-baru ini yang kerap dilemparkan pada mereka, generasi strawberry.

Mengapa sebutan ini disandang oleh generasi yang bahkan dinilai sebagai generasi yang terampil dalam teknologi, berpikir kreatif, dan terbiasa dengan perubahan?

Sebutan generasi strawberry sebenarnya mengambil dimensi lain dari karakteristik ini. Mereka adalah segmen dari Generasi Z yang lebih cenderung memiliki ketebalan kulit yang rapuh, mirip dengan buah strawberry yang memiliki kulit tipis namun memiliki rasa yang kuat di dalamnya.

Lalu darimana sebutan ini muncul?

Pada mulanya sebutan ini berkembang di Asia Timur dan muncul kali pertama di Taiwan. Sedangkan istilah strawberry sendiri diciptakan pertama kali oleh sosiolog Australia, Paul Hirst, di tahun 1978 dalam bukunya yang berjudul The Graying Of The Greens: Demographic Change And Political Realignment In Australia (1978). Hirst berpendapat ada tiga generasi utama yang hadir dalam masyarakat Australia; baby boomer, Generasi X dan apa yang ia sebut sebagai “Generasi Strawberry”.

Sebutan ditujukan bagi generasi muda yang diibaratkan seperti buah strawberi yang eksotis namun, mudah hancur apabila sedikit ditekan. Para generasi lama menyebut generasi strawberry ini lunak dan kurang tahan banting. Mereka juga dinilai tidak kuat dalam menghadapi kompetisi dan mudah menyerah pada ketidakpastian.

Mengenal lebih dekat generasi strawberry, berikut adalah karakteristik generasi ini:

  • Sensitif: Generasi strawberry dikenal karena kepekaan emosional yang tinggi. Mereka merespons dengan kuat terhadap lingkungan sekitar dan memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan kesejahteraan mental.
  • Keterhubungan Digital: Seperti Generasi Z pada umumnya, Generasi strawberry juga sangat terhubung secara digital. Mereka tumbuh dengan teknologi sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka, tetapi sering kali mengalami tekanan dan ancaman di dunia maya yang dapat memengaruhi kesejahteraan mereka.
  • Kreatifitas yang Mendalam: Di balik ketebalan kulit yang rapuh, tersembunyi kreatifitas yang dalam. Generasi strawberry sering kali memiliki pandangan yang unik dan cara berpikir yang kreatif, tetapi mereka juga rentan terhadap tekanan dan kritik yang dapat membatasi ekspresi kreatif mereka.
  • Kesadaran Sosial yang Tinggi: Mereka memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan cenderung aktif dalam isu-isu sosial. Mereka tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga berusaha untuk bertindak secara nyata untuk menciptakan perubahan yang mereka inginkan.

Tantangan bagi Generasi strawberry

Meskipun memiliki banyak potensi dan karakteristik positif, Generasi strawberry juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang tidak boleh diabaikan:

  • Kecenderungan bermental rapuh: Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh Generasi strawberry adalah kecenderungan bermental rapuh. Mereka sering kali rentan terhadap tekanan dan kritik dari lingkungan sekitar, baik di dunia nyata maupun maya.
  • Tekanan Kesejahteraan Mental: Perubahan yang cepat dalam budaya digital dan media sosial telah meningkatkan tingkat tekanan dan kecemasan di kalangan Generasi strawberry. Mereka sering merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan standar yang tidak realistis yang ditetapkan oleh media sosial.
  • Ketergantungan Teknologi yang Berlebihan: Meskipun terhubung secara digital dapat memberi mereka keuntungan dalam hal kreativitas dan akses ke informasi, ketergantungan yang berlebihan pada teknologi juga dapat menjadi sumber masalah, seperti gangguan tidur dan kurangnya interaksi sosial langsung.

Penting bagi kita semua untuk menghargai dan mendukung Generasi strawberry dalam perkembangan mereka. Berikut adalah beberapa cara kita dapat memberikan dukungan:

  • Mendengarkan dengan Empati: Dengarkan perasaan dan pengalaman Generasi strawberry dengan penuh empati. Biarkan mereka tahu bahwa perasaan mereka dihargai dan didengar.
  • Membangun Keterampilan Resiliensi: Bantu mereka membangun keterampilan resiliensi yang kuat sehingga mereka dapat menghadapi tekanan dan tantangan dengan lebih baik.
  • Mendorong Keseimbangan dalam Penggunaan Teknologi: Ajari mereka pentingnya keseimbangan dalam penggunaan teknologi dan mengembangkan kegiatan di luar dunia digital.
  • Menjadi Model Peran yang Positif: Jadilah model peran yang positif dengan memperlihatkan cara mengelola tekanan dan konflik secara sehat.

Generasi Z dengan karakteristik strawberry saat ini telah menginjak umur remaja dan dewasa awal dimana usia kelahiran 2000-2006 telah mengisi bangku-bangku perkuliahan. Sementara itu, pendapat senada dalam mendukung Generasi strawberry dikemukakan oleh Direktur Telkom University Surabaya, Prof. Dr. Tri Arief Sardjono, S.T. M.T. disela kegiatannya.

“Yang pertama kita harus kenali bahwa ada banyak generasi muda memiliki fixed mindset, pola pikir yang meyakini jika bakat adalah hal mutlak sehingga kemampuan seseorang tidak bisa dikembangkan lagi. Ini salah, inilah yang perlu kita ubah.” Tuturnya.

Tumbuh pada era keterbukaan informasi yang mampu menyerap segala informasi seperti spons terkadang membuat mereka menyerapnya secara mentah. Kemudahan fasilitas dan peradaban yang lebih maju membuat para generasi muda dimanjakan dengan segala hal yang instan. Terlebih pandemi Covid-19 dimana mereka melalui era kesepian yang belum pernah ada sebelumnya, menyebabkan kurangnya interaksi dengan dunia luar yang menjadikan standar level kesulitan mereka lebih rendah.

“Penyadaran bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dicapai secara instan, ada proses dan perjuangan. Dan kembali lagi, fixed mindset juga harus dirubah menjadi growth mindset. Kepercayaan bahwa mereka dapat mengembangkan kemampuan dan berani menghadapi tantangan.” Imbuh Prof. Tri Arief Sardjono.

Kampus Telkom University Surabaya memahami bahwa kesehatan mental menjadi hal yang penting. Oleh karena itu Telkom University Surabaya memberi dukungan konseling dan konsultasi psikologis yang dapat membantu mahasiswa dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, atau stres akademis. Ini juga membantu para generasi Z untuk tidak melakukan self-diagnosis sendiri.

Himbauan yang sama juga dikemukakan oleh kepala urusan CDC dan Konseling Telkom University Surabaya, Nadira Khairunnisa, S.Psi. M.Psi, mengenai betapa pentingnya melakukan konseling kesehatan mental dengan professional.

“Generazi Z mudah mendapatkan informasi tanpa aware bagaimana cara menyaring informasi yang ada. Dampaknya mudah merasa cemas, stres bahkan bisa mengarah ke depresi. Hal ini tidak akan diselesaikan dengan mudah hanya dengan ‘healing’ alias jalan-jalan. Itulah pentingnya konseling dengan profesional agar menemukan bagaimana coping mechanism yang tepat agar dapat mengurangi stres atau cemas yang dirasakan.” Tuturnya.

Khusus kamu TelUtizen, isi survey kesehatan mental BERIKUT untuk mendapatkan akses dukungan profesional yang disediakan oleh kampus Telkom University Surabaya.

Penulis: Fujiyama | Foto:Pexels